tembang talijiwo

Bubur ayam diaduk dulu atau tidak? Sila larut ke tengah-tengah kancah perebutan kebenaran ala medsos itu. Atau kau akan menepinya? Kita ketemuan. Di sana ada senja yang kubingkiskan padamu, kubingkis tanpa bungkus, karena langit lebih tulus dari kertas kado mana pun. Dan kopi. Dan buku sederhana ini. Dan garis cakrawali, ketemuan langit dan bumi yang telah digariskan menjadi takdir.

Tak suka kopi? No Problemo. Di sana hampir semuanya terserah maumu. Mau teh saja, wedang jahe, jus, atau ciu dan menjadi anak indie? Biar kedewasaanmu yang mengurusnya. Urusanku buatmu cuma menembang. Tepatnya mengingatkan kembali tembang-tembangmu sendiri. Tembang tentang kekasih, tentang rasa kangen, tentang negeri yang lucu, sedikit norak namun kangen-able… Juga tembang yang penasaran: Udang yang sudah busuk dijadikan terasi, masih sama lezatnyakah dengan cinta yang sudah putus disatukan kembali?

Itulah Tembang Talijiwo. Tembangmu sendiri. Tembang yang kancah perebutan kebenaran membuatmu terlena melupakannya.

Ya, mengembalikan seluruh kenanganmu, termasuk kenanganmu kepada (mantan) kekasih. Itu saja. Sama sekali tiada maksud tembang Talijiwo ini mengajakmu menangis. Ah, seperti ia menitipkan kenangan kepadamu, titipkan juga tangismu kepada dunia. Itu baru adil. Mantan-mantanmu biarkan menjadi airmatamu, tapi jangan pernah boleh menjadi tangismu.

Heuheuheu…

Baiklah! Semoga caraku membawakan tembang Talijiwo ini bisa mengolah seluruh perasaanmu menjadi airmata tersendu dalam sejarah, dan tak membawamu terjerumus ke jurang tangis.

Tebal: 264 halaman
Berat: 300 gram
Penerbit: Diva Press